syair hk pool

syair hk pool,mesin jahit togel,syair hk poolJakarta, CNN Indonesia--

Agresi Israeldi Jalur Gaza, Palestina, telah berlangsung satu bulan sejak pecah 7 Oktober lalu.

Per Senin (6/11), Kementerian Kesehatan Gaza mencatat 10.022 warga Palestina tewas imbas perang, dengan lebih dari 4.100 di antaranya merupakan anak-anak.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres sampai menyebut Gaza saat ini telah menjadi "kuburan bagi anak-anak."

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lihat Juga :
Netanyahu Ungkap Hal yang Bisa Buat Israel Setop Serang Gaza

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pun memberikan syarat jika ingin gencatan senjata, para warga Israel yang ditawan mesti dibebaskan seluruhnya.

"Tidak akan ada gencatan senjata umum di Gaza tanpa pembebasan warga kami yang disandera," kata Netanyahu.

Sebanyak 240 warga Israel disandera Hamas sejak milisi ini meluncurkan serangan di sejumlah kota Israel awal bulan lalu. Para sandera termasuk warga sipil lanjut usia hingga anak-anak.

"Dari segi taktis, jeda sementara selama satu jam di sini, satu jam di sana, kita sudah pernah mengalami sebelumnya. Saya kira kita akan memeriksa keadaan untuk memungkinkan bantuan kemanusiaan masuk maupun para warga kami yang disandera keluar," ucap Netanyahu.

Dengan kondisi seperti ini, apa yang bisa menghentikan agresi Israel di Gaza?

Pengamat studi Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Sya'roni Rofii, menilai agresi Israel bisa dihentikan apabila Amerika Serikat dan negara-negara Barat seperti Uni Eropa memberikan tekanan secara langsung dan spesifik ke Negeri Zionis.

"Sikap Israel bisa berubah jika Amerika dan Uni Eropa memberikan tekanan secara langsung dan secara spesifik, karena pada akhirnya Israel ini kan mendapat sokongan dari Amerika dan Uni Eropa dalam forum-forum internasional," kata Sya'roni kepadaCNNIndonesia.com.

Pilihan Redaksi
  • Parlemen Turki Boikot Coca Cola-Nestle usai Diduga Dukung Israel
  • Relawan MER-C: RS di Gaza Krisis Obat hingga BBM, Keadaan Mencekam
  • Jokowi-Biden Bertemu Pekan Depan, Bakal Bahas Situasi di Gaza?

Sya'roni mengatakan AS dan negara-negara Barat memiliki kontribusi penting bagi keberlanjutan perang di Timur Tengah karena "secara spesifik memiliki komitmen untuk membantu persenjataan untuk Israel."

Sejak sebelum Israel melancarkan agresi di Gaza, Negeri Zionis sendiri telah menerima bantuan persenjataan mulai dari Amerika Serikat, Inggris, hingga Jerman.

AS memasok 10,6 miliar dolar atau setara Rp166 triliun bantuan ke Israel melalui Kementerian Pertahanan, yang mencakup dukungan pertahanan udara dan rudal. Wall Street Journal bahkan melaporkan Washington berencana mengirim 320 juta dolar atau setara Rp5 triliun bom presisi untuk Israel.

Menurut data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), Italia dan Jerman juga menjadi pemasok senjata ke Israel antara 2013-2022. Senjata kedua negara ini memainkan peran penting dalam agresi Tel Aviv di Gaza saat ini.

Kemudian, menurut Campaign Against the Arms Trade (CAAT), Inggris menjalin kesepakatan yang menguntungkan dengan Angkatan Udara Israel.

Inggris menyediakan komponen yang membentuk 15 persen dari pesawat tempur siluman F-35, yang digunakan Tel Aviv membom sekolah, rumah sakit, dan daerah pemukiman di Gaza, demikian dikutip dari Euronews.

Dengan bantuan-bantuan ini, Sya'roni pun menilai Israel tidak akan mau berhenti jika AS dan negara-negara Barat lain masih "bersikap abu-abu". AS sendiri sejauh ini hanya mendesak Israel melakukan jeda kemanusiaan, alih-alih gencatan senjata.

AS setuju bahwa jeda kemanusiaan harus ada untuk meminimalisir kerugian terhadap warga sipil. Namun, Washington menegaskan tak akan menghentikan Tel Aviv "mempertahankan diri."

"Jika sikap Amerika dan Uni Eropa masih abu-abu, tidak tegas, maka bisa jadi Israel akan terus melancarkan serangannya," ucap Sya'roni.

Lanjut di halaman berikutnya...

Senada, pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Yon Machmudi, mengatakan AS dan negara-negara Eropa merupakan pihak-pihak yang bisa menyetop aksi Israel di Palestina.

Yon berpandangan Israel akan "manut" jika Washington mendesaknya menghentikan serangan karena ini sudah berkaitan dengan tragedi kemanusiaan yang luar biasa.

"Masalahnya, Amerika Serikat hingga saat ini masih mendukung serangan-serangan yang dilakukan oleh Israel dan itu terkesan membumihanguskan Gaza. Gaza akan dijadikan sebagai wilayah yang tidak berpenghuni kalau serangan itu terus menerus dilakukan karena yang menjadi korban adalah rakyat sipil, penduduk Gaza secara umum," kata Yon kepada CNNIndonesia.com.

"Oleh karena itu, tentu upaya untuk melobi Amerika Serikat dan negara-negara sekutu harus dilakukan agar serangan itu bisa dihentikan," lanjut Yon.

Lihat Juga :
Stok Makanan di Gaza Makin Sekarat, Cuma Tersisa untuk 1-3 Hari

Yon mengatakan negara-negara Arab perlu berupaya melobi AS dan Eropa untuk membujuk Israel menghentikan gempuran ke Gaza.

Kendati begitu, syarat Israel untuk melepaskan tawanan jika ingin gencatan senjata, menurut dia, bakal mempersulit pelaksanaan ini.

Pasalnya, Hamas juga meminta semua warga Palestina yang ditahan Israel dibebaskan jika ingin warga Tel Aviv yang mereka sandera bebas. Warga Palestina yang ditahan sendiri berjumlah sekitar lima ribu orang.

Sementara itu, warga Israel yang ditahan Hamas dilaporkan berjumlah 240 orang.

"[Pertanyaannya] apakah mau seperti itu Israel?" ucap Yon.

[Gambas:Photo CNN]

Yon pun mewanti-wanti apabila AS dan Eropa tak bisa membujuk atau bahkan tidak mau menekan Israel untuk menyetop serangan dan melakukan gencatan senjata, maka "tidak ada jalan lain selain intervensi militer."

"Siapa yang bisa melakukan intervensi militer? Ya negara-negara yang sedang berkonflik, bermusuhan dengan Israel dan juga Amerika. Maka negara yang berpotensi ya Lebanon kemudian Suriah, dan itu ada Iran," ucapnya.

"Maka kemudian dengan intervensi militer itu akan terjadi keseimbangan [kekuatan] dan memaksa Israel untuk mau berpikir menghentikan serangan itu."

Meski begitu, Yon memperingatkan jika negara-negara Timur Tengah ini benar melakukan intervensi militer, maka peperangan akan semakin meluas dan membesar. Negara-negara adidaya seperti Rusia dan China, menurutnya, tentu akan turun tangan dan membuat skala konflik menjadi tak terelakkan.

"Kalau Israel melakukan serangan ke Iran, pasti China dan Rusia akan terlibat. Maka saya pikir perang ini akan semakin besar. Hanya pilihannya apakah diakhiri dengan perdamaian atau dengan peperangan yang semakin besar," tukas dia.

Pilihan Redaksi
  • Dokter Anestesi Palestina Lulusan UNS RI Tewas Kena Bombardir Israel
  • Seberapa Kuat Hamas Bertahan Melawan Gempuran Israel di Gaza?
  • PM Palestina Menangis Ingat Anak-anak Tewas di Gaza saat Rapat Kabinet

Sementara itu, menurut Sya'roni, negara-negara Arab sebetulnya bisa membantu menghentikan agresi dengan memberikan tekanan kuat pada Israel.

Berkaca pada sejarah perang Arab-Israel, kekuatan kolektif negara-negara Arab bisa membuat Israel ketar-ketir dan mempertimbangkan kembali tindakannya di Gaza.

Namun, ini hanya bisa terjadi jika mereka satu suara. Masalahnya, suara dunia Arab saat ini terbelah karena hubungan politik sejumlah negara itu dengan Tel Aviv.

Pada 1979, Mesir menandatangani perjanjian damai dengan Israel usai bersitegang bertahun-tahun karena Perang Arab-Israel 1948. Yordania kemudian menyusul pada 1994, diikuti Sudan, Uni Emirat Arab (UEA), dan Bahrain pada 2020.

Pada Sabtu (4/11), Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken juga bertemu dengan Menteri Luar Negeri Yordania hingga Mesir di Amman, Yordania. Dalam pertemuan itu, para menlu Arab mendesak Blinken meminta Israel segera gencatan senjata.

Namun, menurut Sya'roni, posisi para Menlu Arab saat itu "lebih pada mengikuti skema AS sehingga belum ada tindakan nyata dari negara-negara Arab untuk ambil langkah kolektif untuk menekan Israel."

Oleh sebab itu, Sya'roni menilai konflik di Gaza sebetulnya bisa dihentikan hanya jika Arab satu suara.

"Artinya kalau negara-negara Arab satu suara untuk isolasi Israel pasti Israel akan berubah pikiran sehingga melakukan de-eskalasi atau ceasefire (gencatan senjata)," pungkas dia.

[Gambas:Video CNN]